| Jumat, 15 Nopember 2002Memahami     Aspek-aspek Penting Perkembangan Remaja
 Dalam     hidupnya, setiap manusia akan mengalami berbagai tahap perkembangan. Dan     salah satu tahap perkembangan yang sering menjadi sorotan adalah ketika     seseorang memasuki usia remaja. Betapa tidak? Usia remaja adalah gerbang     menuju kedewasaan, jika dia berhasil melalui gerbang ini dengan baik, maka     tantangan-tantangan di masa selanjutnya akan relatif mudah diatasi.
 
 Begitupun sebaliknya, bila dia gagal maka pada tahap perkembangan berikutnya     besar kemungkinan akan terjadi masalah pada dirinya. Oleh karena itu, agar     perkembangannya berjalan dengan baik, setidaknya ada lima aspek penting yang     harus dicermati, baik oleh orang tua, pendidik, maupun si remaja itu     sendiri.
 
 1. Kondisi fisik
 Penampilan fisik merupakan aspek penting bagi remaja dalam menjalani     aktivitas sehari-hari. Biasanya mereka mempunyai standar-standar tertentu     tentang sosok fisik ideal yang mereka dambakan. Misalnya, standar cantik     adalah berpostur tinggi, bertubuh langsing, dan berkulit putih.
 Namun tentu saja tidak semua remaja memiliki kondisi fisik seideal itu.     Karenanya, remaja mesti belajar menerima dan memanfaatkan seperti apapun     kondisi fisiknya dengan seefektif mungkin.
 
 Remaja perlu menanamkan keyakinan bahwa keindahan lahiriah bukanlah makna     yang sesungguhnya dari kecantikan. Kecantikan sejati justru bersumber dari     hati nurani, akhlak, serta kepribadian yang baik. Seperti kata pepatah: Beauty     is not in the face, beauty is a light in the heart (kecantikan bukan     pada wajah, melainkan cahaya dari dalam hati). Bahkan dalam Islam,     Rasulullah Muhammad SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak melihat     bentuk-bentuk tubuhmu dan harta-hartamu, tetapi Allah melihat hati dan     amal-amalmu." (HR Muslim)
 
 2. Kebebasan emosional
 Pada umumnya, remaja ingin memperoleh kebebasan emosional. Mereka ingin     bebas melakukan apa saja yang mereka sukai. Tak heran, sebab dalam masa     peralihan dari anak-anak menuju dewasa, seorang remaja memang senantiasa     berusaha agar pendapat atau pikiran-pikirannya diakui dan disejajarkan     dengan orang dewasa, dalam kedudukannya yang bukan lagi sekadar objek.
 
 Dengan demikian jika terjadi perbedaan pendapat antara anak dengan orang     tua, maka pendekatan yang bersifat demokratis dan terbuka akan terasa lebih     bijaksana. Salah satu caranya dapat dilakukan dengan membangun rasa saling     pengertian, di mana masing-masing pihak berusaha memahami sudut pandang     pihak lain.
 
 Saling pengertian juga dapat dibangkitkan dengan bertukar pengalaman atau     dengan melakukan beberapa aktivitas tertentu bersama-sama, di mana orang     tua dapat menempatkan dirinya dalam situasi remaja, dan sebaliknya. Menurut     Gordon, inti dari metode pemecahan konflik yang aman antara orang tua dan     anak adalah dengan menjadi pendengar aktif.
 
 3. Interaksi sosial
 Kemampuan untuk melakukan interaksi sosial juga sangat penting dalam     membentuk konsep diri yang positif, sehingga dia mampu melihat dirinya     sebagai orang yang kompeten dan disenangi oleh lingkungannya. Dengan     demikian, maka diharapkan dia dapat memiliki gambaran yang wajar tentang     dirinya sesuai dengan kenyataan (tidak dikurangi atau dilebih-lebihkan).
 
 Menurut Abdul Halim Abu Syuqqah, dalam bukunya Kebebasan Wanita,     pergaulan yang sehat adalah pergaulan yang tidak terjebak dalam dua     ekstrem, yakni terlalu sensitif (menutup diri) atau terlalu bebas. Konsep     pergaulan semestinya lebih ditekankan kepada hal-hal positif, seperti untuk     mempertegas eksistensi diri atau guna menjalin persaudaraan serta menambah     wawasan yang bermanfaat.
 
 4. Pengetahuan terhadap kemampuan diri
 Setiap kelebihan atau potensi yang ada dalam diri manusia sesungguhnya     bersifat laten. Artinya, ia harus digali dan terus dirangsang agar keluar     secara optimal. Dengan demikian, akan terlihat sejauh mana potensi yang ada     dan di jalur mana potensi itu terkonsentrasi, untuk selanjutnya diperdalam     hingga dapat melahirkan karya yang berarti.
 
 Dengan mengetahui dan menerima kemampuan diri secara positif, maka seorang     remaja diharapkan lebih mampu menentukan keputusan yang tepat terhadap apa     yang akan ia jalani, seperti memilih sekolah atau jenis kegiatan yang akan     diikutinya.
 
 5. Penguasaan diri terhadap nilai-nilai moral dan agama
 William James, seorang psikolog yang mendalami psikologi agama mengatakan     bahwa orang yang memiliki komitmen terhadap nilai-nilai agama cenderung     mempunyai jiwa yang lebih sehat. Kondisi tersebut ditampilkan dengan sikap     yang positif, optimis, spontan, bahagia, serta penuh gairah dan vitalitas.
 
 Sebaliknya, orang yang memandang agama sebagai suatu kebiasaan yang     membosankan atau perjuangan yang berat dan penuh beban, akan memiliki jiwa     yang sakit (sick soul). Dia akan dihinggapi oleh penyesalan diri,     rasa bersalah, murung serta tertekan.
 
 Bagi keluarga Muslim, nampaknya harus mulai ditanamkan pemahaman bahwa di     usianya si remaja sudah termasuk baligh. Artinya dia sudah taklif, atau     bertanggung jawab atas kewajiban-kewajiban agama serta menanggung sendiri     dosa-dosanya apabila melanggar kewajiban-kewajiban tersebut. Dengan     pemahaman yang kuat terhadap nilai-nilai moral dan agama, maka lingkungan     yang buruk tidak akan membuatnya menjadi buruk. Bahkan boleh jadi, si     remaja sanggup proaktif mempengaruhi lingkungannya dengan frame religius.n     dr/mqp (     )
 | 
   
No comments:
Post a Comment