Sunday, July 27, 2008
Pemikiran Aristoteles tentang Etika dan Negara
filsafat Aristoteles mempengaruhi filsafat seterusnya, yakni etika, dan sebagai lanjutannya filsafat negara. Etika Aristoteles bertitik pangkal pada kenyataan bahwa manusia hendak mengejar kebahagiaan (”eudaimonia“). Sarana-sarana dan upaya-upaya yang dipilih manusia, dinilai berdasarkan tujuan tersebut. Kebahagiaan itu menyangkut manusia jiwa-raga sebagai anggota masyarakat, karena manusia ialah makhluk yang “hidup ber-polis” (polis: kota sebagai kesatuan negara pada masa Yunani kuno, sudah lama sebelum Aristoteles). Manusia ialah “zoon politikon“. Ciri manusia sebagai makhluk hidup adalah hidup dalam polis, maka Aristoteles sangat menekankan sosialitas manusia. Masyarakat dalam bentuk negara itu dilihat Aristoteles sebagai suatu lembaga kodrati (”natural institution“), yaitu bukan berdasarkan persetujuan (”convention“) saja seperti diajar oleh para sofis dan skeptikus pada masa itu. Dengan demikian semua warganegara wajib takluk pada negara, kepada para pemimpin dan kepada undang-undang. Dalam filsafatnya, Aristoteles mempunyai kecenderungan ke arah suatu totalitarisme negara. Negara itu di atas keluarga dan negara pun menyelenggarakan pendidikan. Pemimpin negara dapat dibentuk menurut beberapa pola berdasarkan pengamatan dan data-data yang diperoleh Aristoteles, antara lain melalui para muridnya. Monarki ialah cara pemerintahan di bawah satu (”monos“) orang saja, yang dapat merosot menjadi tirani. Aristokrasi merupakan cara pemerintahan di bawah sekelompok orang yang dinilai sebaik yang terbaik (”aristoi“), dan dapat merosot menjadi oligarki (dikuasai oleh “segerombolan” orang yang bersekongkol). Demokrasi yang diberi juga nama “politeia” berada di bawah kuasa rakyat (”demos“), yang dapat merosot menjadi anarki (tanpa “arkhe” atau asas). Aristoteles tidak memilih salah satu dari ketiga bentuk dasar itu. Ia juga tidak suka memakai perbandingan dengan susunan manusia seperti Plato.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment